Selasa, 05 Juni 2012

Masalah Tisu Basah


Beberapa waktu yang lalu, saya bersama keluarga memutuskan untuk makan malam di sebuah restoran dengan masakan Chinese hasil rekomendasi apik dari seorang teman yang terus-menerus mengajak saya untuk mencoba. Ternyata teman saya tidak menipu saya, begitu sampai di restoran tersebut, parkir penuh sesak, pertanda masakannya pasti enak. Agak sulit membayangkan sebuah restoran sangat ramai di hari Kamis malam jika makanan yang disajikan tidak enak. Sampai di lobi restoran, antrean cukup panjang, kami urutan ke-enam yang menunggu. Di samping kami terlihat antrean beberapa keluarga besar yang sabar menunggu giliran. Saya makin penasaran. Di pintu masuk terlihat beberapa promosi kartu kredit siap menyambut pesanan setiap tamu dan dengan ‘bahagia’ memberikan diskon. Saya tambah yakin, setidaknya saya tidak mengecewakan keluarga dengan pilihan tempat ini. Ah aman, pikir saya.

Kami akhirnya dipersilakan masuk. Lantai satu sudah penuh, kami digiring ke lantai dua oleh seorang wanita berpakaian rapi, lebih rapi dari pramusaji, saya asumsi, dia manajer restoran ini. Ternyata betul, dia memperkenalkan diri, terlihat dan terdengar profesional dengan bahasa Mandarin-nya. Kami pesan beberapa makanan. Pramusaji sigap mencatat, semua lancar-lancar saja. Kami pun direkomendasikan beberapa menu andalan di tempat itu. Buku menu-nya juga unik, tidak seperti restoran kebanyakan. Warna interior terbawa ke menu dengan warna biru turquoise, bukan merah seperti restoran Chinese di seluruh belahan dunia. Dari menu, saya tahu bahwa ternyata inspirasi restoran tersebut berasal dari suatu daerah di RRC yang dimulai dari seorang ibu rumah tangga yang pandai memasak, kemudian berkembang bisnisnya dengan pusatnya di Malaysia dengan cabang di Singapura dan Jakarta. Pelayanannya cepat, permintaan kami yang ‘kecil-kecil’ seperti tisu, sendok, semuanya diantarkan dengan cepat. Teman saya ternyata tidak bohong, makanannya enak. Semua kualitas baik, bahan-bahan yang digunakan segar, bumbunya sedap, semuanya memuaskan, tidak ada komplain, bahkan saya pribadi ingin ketemu dengan chef-nya, berlebihan memang, tapi masakannya betul-betul enak. Selesai makan, anggota keluarga saya sepakat, restoran ini enak dan kami akan kembali lagi suatu hari. Pembicaraan kami semakin detail dengan beberapa menu yang kami akan pesan lagi, atau yang ingin kami coba pada kunjungan kami mendatang.

Jika Anda masih membaca sampai bagian ini, tenang saja, ini bukan artikel kuliner atau sejenisnya, meskipun dari tadi bicara tentang makanan atau pengalaman saya di restoran ini. Anda tentu bertanya, lalu pelajaran branding apa yang menarik dari kisah saya di atas. Seorang marketer yang baik tentu saja paham bahwa pengalaman pelanggan dimulai dari tahap pre-purchasepurchase, dan post-purchase. Tapi di atas semuanya itu, tanyakan pada diri Anda, mungkin Anda seorang pemilik brand, atau bekerja dalam bidang manajemen brand, atau bekerja di sebuah perusahaan (pasti perusahaan Anda punya brand, kan?), “Anda ingin brand Anda diingat sebagai apa?” 

"Branding is about creating perception,
it’s about bringing brands to lives." 

Jika kita kembali ke cerita saya di atas, katakanlah dengan brand restoran Chinese A, pada poin terakhir dari cerita saya, jika saya ditanya, apa yang saya ingat dari brand A tersebut, maka saya akan menjawab “makanan Chinese yang otentik, sambal yang enak, rasa masakan enak, lengkap, segar, dan pelayanan yang baik.” Tidak buruk, bukan? Seorang pelanggan baru seperti saya bisa mengingat semua hal tersebut dan bahkan ingin segera kembali lagi ke tempat itu.

Yang terjadi berikutnya membuyarkan ingatan indah saya tentang restoran A. Kami meminta bon, siap untuk membayar, melihat antrean yang masih ramai, dan waktu yang agak malam. Piring-piring dan peralatan makan dibereskan, kemudian seorang pramusaji datang, mengumpulkan tisu basah (branded dengan brand A, dibagikan untuk setiap tamu di meja) dan kemudian bertanya dengan suara setengah kencang, nada agak tinggi, “berapa tisu basah yang dipakai?”. Kami agak bingung, lalu mulai menghitung dan menjawab si pramusaji. Cukup aneh bagi kami, karena di restoran yang lebih murah ataupun lebih mahal dari tempat ini pun, jarang kami ditanya mengenai tisu basah. Saya pribadi sebagai pemerhati brand dan dunia ramahtamah, mulai gusar. Lalu saya diberikan tagihan, dan melihat di tagihan tersebut, bagian paling bawah, dan menemukan aspek yang akan saya ingat selamanya dari restoran tersebut. Tisu basah yang tadi ditanyakan dengan setengah kencang, dan nada agak tinggi itu, ditagih dengan harga Rp 700,- per tisu basah. Tidak bermaksud untuk sombong sama sekali, tapi kami mampu bayar tisu basah itu berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus jika memang kami perlu pakai, tapi dengan cara si pramusaji menghitung tisu basah dan bertanya ke kami, maka buyar ingatan indah saya tentang brand A. Seriously, Anda perlu bertanya seperti itu untuk memastikan Anda tidak kehilangan omset sebesar Rp 700,-? Saya sempat cek diri sendiri, ah mungkin saya yang terlalu sensitif, tapi saya lihat sekeliling saya, keluarga saya pun merasa terganggu dan terheran-heran sambil merasa ‘dikejar’ oleh tisu basah seharga Rp 700,-.

Saya lupa malam itu saya makan masakan tahu yang mungkin terenak yang pernah saya coba. Saya lupa malam itu saya makan mie goreng khas yang semestinya bisa dengan mudah menggoda saya untuk datang lagi dan lagi ke tempat itu hanya karena saya penggemar masakan mie sejati. Saya lupa malam itu saya duduk di sebuah restoran yang bagus interior dan dilayani dengan baik oleh manajer yang ramah itu. Saya lupa semua yang indah-indah tentang brand A. Tapi saya ingat satu hal, saya ditagih dengan tidak baik oleh si pramusaji untuk tisu basah yang harganya Rp 700,-.

Ini kah yang Anda inginkan bagi brand Anda? Saat semuanya sudah baik, produk sudah berkualitas, ada keterkaitan dengan cerita asal restoran didirikan, pelayanan sudah sempurna, didukung dengan infrastruktur yang mumpuni, lalu pengalaman pelanggan ditutup dengan tagihan, dan sikap bertanya, yang kurang mengenakkan? Sebuah studi yang dilakukan oleh Parkington dan Buxton dalam Journal of Applied Psychology  menunjukkan sebuah temuan bahwa 68% pelanggan meninggalkan sebuah brand karena sikap pelayanan yang buruk. Saya tidak tahu apakah si pramusaji melakukan yang sama terhadap semua pelanggan, semoga tidak. Harapan saya, kita mulai mengerti dan melihat, dan mengelola, brand kita secara keseluruhan. Ini bukan lagi mengenai program marketing, atau promo kartu kredit, dan sejenisnya, tapi mulailah lihat brand Anda dari perspektif holistik. The smallest bad thing in the purchase process affects your brand perception wholly. Betul kata Dr. Richard Carlson yang menulis buku pengembangan diri, katanya “Don’t sweat the small stuff!” Well, you better not.


Written by :
Brand Consultant, DM-IDHolland


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa ceritamu? Yuk berbagi!